
MADRASAH DINIYAH (MD) AL-KHOIROT
Madrasah Diniyah (MD, Madin) Al-Khoirot adalah lembaga pendidikan khusus ilmu agama yang berada di bawah yayasan Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang.
Program Madin Al-Khoirot Malang bertujuan untuk menciptakan generasi muda yang berilmu agama mumpuni, beriman dan berakhlak mulia. Tidak saja akhlak lahiriah tapi juga batiniah.
TAHUN 1966: PENDIRIAN MADRASAH DINIYAH PUTRA
Pada tahun 1966 adalah sejarah dimulainya program pendidikan agama (diniyah) dengan sistem klasikal yang umum disebut dengan madrasah diniyah disingkat madin. Madrasah diniyah ini oleh Kiai Syuhud diberi nama Annasyiatul Jadidah. Saat ini, madrasah diniyah belum memiliki gedung asrama khusus dan masih bertempat di gedung sederhana dengan dinding bambu dan atap daduk (daun tebu kering). Pada tahun 1967 pembangunan gedung madrasah yang representatif sebanyak enam kelas mulai dibangun.
Pada tahun 1969-1970, pembangunan gedung madrasah diniyah selesai dibangun dan untuk pertama kalinya PPA memiliki gedung sekolah yang sepenuhnya berdinding tembok dan beratap genting.
Madin Annasyiatul Jadidah awalnya hanya mengajarkan agama. Beberapa tahun kemudian ilmu pengetahuan umum pun diajarkan di sini sehingga lulusan madin ini dapat mengikuti ujian persamaan untuk tingkat sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah.
Guru-guru pertama madrasah ibtidaiyah Annasyiatul Jadidah antara lain sebagai berikut: Ustadz Muhammad Syamsul Arifin (Pamekasan Madura), Ustadz Abdul Jalil (Pamekasan Madura), Ustadz Sabiq (Jember), Ustadz Slamet (Kepanjen), Ustadz Rohawi (Karangsuko), Ustadz Mukhtar (Karangsuko).
TAHUN 1970: PENDIRIAN MADRASAH DINIYAH PUTRI
Tahun 1970 adalah sejarah awal mula santri putri dapat menikmati program pendidikan dengan sistem klasikal dengan didirikannya Madrasah Diniyah Annasyiatul Jadidah Putri. Sama dengan madin putra, pada kurikulum yang diajarkan madin putri terdiri dari ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Namun demikian, ilmu agama tetap memegang porsi yang lebih besar. Oleh karena itulah institusi ini diberi nama madrasah diniyah.
Tentang sejarah pesantren Al-Khoirot lihat: Sejarah Pendirian Pesantren Al-Khoirot.
SEJARAH DAN PENGERTIAN MADRASAH DINIYAH SECARA UMUM
Sejarah Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa pendidikan keagamaan di sini tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Muslim. Selama kurun waktu yang panjang, pendidikan keagamaan Islam berjalan secara tradisi, berupa pengajian al-Qur’an dan pengajian kitab, dengan metode yang dikenalkan (terutama di Jawa) dengan nama sorogan, bandongan dan halaqah. Tempat belajar yang digunakan umumnya adalah ruang-ruang masjid atau tempat-tempat shalat “umum” yang dalam istilah setempat disebut: surau, dayah, meunasah, langgar, rangkang, atau mungkin nama lainnya.
Perubahan kelembagaan paling penting terjadi setelah berkembangnya sistem klasikal, yang awalnya diperkenalkan oleh pemerintah kolonial melalui sekolah-sekolah umum yang didirikannya di berbagai wilayah Nusantara. Di Sumatera Barat pendidikan keagamaan klasikal itu dilaporkan dipelopori oleh Zainuddin Labai el-Junusi (1890-1924), yang pada tahun 1915 mendirikan sekolah agama sore yang diberi nama “Madrasah Diniyah” (Diniyah School, al-Madrasah al-Diniyah) (Noer 1991:49; Steenbrink 1986:44). Sistem klasikal seperti rintisan Zainuddin berkembang pula di wilayah Nusantara lainnya, terutama yang mayoritas penduduknya Muslim. Di kemudian hari lembaga-lembaga pendidikan keagamaan itulah yang menjadi cikal bakal dari madrasah-madrasah formal yang berada pada jalur sekolah sekarang. Meskipun sulit untuk memastikan kapan madrasah didirikan dan madrasah mana yang pertama kali berdiri, namun Departemen Agama (dahulu Kementerian Agama) mengakui bahwa setelah Indonesia merdeka sebagian besar sekolah agama berpola madrasah diniyahlah yang berkembang menjadi mad-rasah-madrasah formal (Asrohah 1999:193). Dengan perubahan tersebut berubah pula status kelembagaannya, dari jalur “luar sekolah” yang dikelola penuh oleh masyarakat menjadi “sekolah” di bawah pembinaan Departemen Agama.
Meskipun demikian tercatat masih banyak pula madrasah diniyah yang mempertahankan ciri khasnya yang semula, meskipun dengan status sebagai pendidikan keagamaan luar sekolah. Pada masa yang lebih kemudian, mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 1964, tumbuh pula madrasah-madrasah diniyah tipe baru, sebagai pendidikan tambahan berjenjang bagi murid-murid sekolah umum. Madrasah diniyah itu diatur mengikuti tingkat-tingkat pendi-dikan sekolah umum, yaitu Madrasah Diniyah Awwaliyah untuk murid Sekolah Dasar, Wustha untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan ‘Ulya untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Madrasah diniyah dalam hal itu dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan klasikal jalur luar sekolah bagi murid-murid sekolah umum. Data EMIS (yang harus diperlakukan sebagai data sementara karena ketepatan-nya dapat dipersoalkan) mencatat jumlah madrasah diniyah di Indonesia pada tahun ajaran 2005/2006 seluruhnya 15.579 buah dengan jumlah murid 1.750.010 orang.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Karena itu berarti negara telah menyadari keanekaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di bumi nusantara ini.
MADRASAH DINIYAH TAKMILIYAH (MDT)
PERHATIAN: Tulisan tentang Madrasah Diniyah Takmiliyah di bawah ini hanya sebagai informasi saja dan tidak ada kaitannya dengan sistem pendidikan madrasah diniyah di Ponpes Al-Khoirot.
Madrasah Diniyah Takmiliyah ialah suatu sutu pendidikan keagamaan Islam nonformal yang menyelenggarakan pendidikan Islam sebagai pelengkap bagi siswa pendidikan umum. Untuk tingkat dasar (diniah takmiliya awaliyah) dengan masa belajar 6 tahun.
Untuk menengah atas (diniah takmiliyah wustha) masa belajar tiga tahun, untuk menengah atas (diniyah ulya) masa belajar selama tiga tahun dengan jumlah jam belajar minimal 18 jam pelajaran dalam seminggu
Madrasah Diniyah (MD - MADIN) atau pada saat ini disebut Madrasah Diniyah Takmiliah (MDT) adalah lembaga pendidikan Islam yang dikenal sejak lama bersamaan dengan masa penyiaran Islam di Nusantara. Pengajaran dan pendidikan Islam timbul secara alamiah melalui proses akulturasi yang berjalan secara halus, perlahan sesuai kebutuhan masyarakat sekitar.
POLA PENYELENGGARAAN MADRASAH DINIYAH
Madrasah diniyah di Indonesia mempunyai banyak pola penyelenggaraan. Secara garis besar ada 5 (lima) pola, yaitu : Madrasah Diniyah Suplemen, Madrasah Diniyah Independen, Madrasah Diniyah komplementer, Madrasah Diniyah di Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Sistem Paket. Namun demikian, tidak semua daerah Kabupaten atau Kota mempunyai madrasah dengans emua model penyelenggaraan sebagaimana di atas. Yang paling banyak berdiri di berbagai daerah adalah Madrasah Diniyah Suplemen dan Madrasah Diniyah di Pondok Pesantren.
(1) Sebagian besar kurikulum madrasah diniyah mengacu pada kurikulum pondok pesantren afeliasi dan juga kurikulum Departemen Agama dengan melakukan modifikasi seperlunya. Modifikasi kurikulum ini dikaitkan dengan kondisi riil masyarakat dan perkembangan serta kebutuhan siswa; (2) Ada tiga masalah utama yang sekarang dihadapi madrasah diniyah, yaitu : kekurangan dana, tingkat ekonomo dan pendidikan orang tua siswa relatif rendah, dan adanya kecenderungan menjadi "anak tiri" di masyarakat. "Pusat kekuasaan" di madrasah diniyah berada pada Kepala Madrasah atau Khadimul Madrasah, bukan pada kyai. Meskipun hampir semua madrasah diniyah telah mempunyai struktur kepengurusan yang lengkap, bahkan dari struktur itu juga telah dijabarkan tugas masing-masing pengurus melalui job description secara jelas dan operasional, tetapi banyak dari pengurus yang kurang fungsional, sehingga seringkali persoalan madrasah lebih bertumpu pada khadimul madrasah; (3) Pada pengajaran secara klasikal, para guru menggunakan metode ceramah, tanya jawab, diskusi dan latihan, sedang untuk pengajaran individual mengguanakn sorongan dalam bentuk hafalan.
Para guru dalam setiap memulai dan mengakhiri pembelajaran, selalu mengajak siswa untuk doa bersama , doa memulai pembelajaran dengan membaca surat Al-Fatihah dan doa mencari ilmu, sedang doa mengakhiri pembelajaran dengan membaca surat Al-Asyr dan Syi'iran. dan (4) Semua madrasah diniyah telah melaksanakan evaluasi pembelajaran, meskipun tidak setertib di sekolah / madrasah formal pada umumnya. Ini menunjukkan bahwa, para guru madrasah diniyah sadar akan pentingnya evaluasi pembelajaran untuk mengetahui ketercapaian tujuan atau kompetensi yang telah ditentukan, walaupun dengan prestasi yang berbeda-beda antar masing-masing individu. Evaluasi pembelajaran yang dilakukan di madrasah diniyah dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu : evaluasi mingguan, evaluasi semesteran dan evaluasi tahunan (Imtihan).[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar